News Update :
Topics :

Aqidah Islamiyah

Oase Iman

Khutbah

Tazkiyatunnafsi

Shirah

Gallery Kegiatan


Khadijah, Wanita Tangguh Pendamping Rasulullah SAW

30/01/13

Wanita penghuni surga yang paling mulia ada empat, yaitu Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah istri Fir'aun,” kata Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.

Tentang keutamaan Khadijah, memang tak perlu diragukan lagi. Ia adalah orang pertama yang mendukung penuh tentang kenabian Muhammad SAW. Ia juga relakan seluruh hartanya yang berlimpah demi kemajuan Islam.

Bahkan, ia juga baktikan seluruh jiwa dan raganya, hingga Allah SWT menakdirkan ia meninggal di tengah-tengah masa perjuangan tanpa sempat menikmati sinar-sinar kejayaan Islam.

Dari sela-sela kisah hidupnya yang sangat mulia itu, kita menemukan satu karakter kepribadian khas yang umum dimiliki oleh kaum wanita utama lain.

1. Tokoh masyarakat
Ia disunting pertama kalinya oleh Atiq bin Abid. Begitu sang suami meninggal ia menikah dengan Abu Halah, tetapi harus menjanda kedua kali karena suaminya ini juga meninggal. Setelah itu banyak tokoh quraisy yang datang untuk melamar, namun semua itu ditolaknya secara halus.

Kedudukannya di tengah masyarakat quraisy sangat terhormat. Bukan karena keturunan dan harta, melainkan karena kepribadian dan budi pekertinya yang luhur. Ia bahkan dijuluki “At Thahirah”, yang berarti Si Wanita Suci.

2. Aktif bekerja
Masyarakat mengenal Khadijah sebagai pedagang yang sukses. Selain memiliki banyak budak laki-laki dan perempuan, Khadijah juga menyewa banyak orang untuk menjualkan barang-barangnya ke luar negeri. Apakah kesuksesan itu ia peroleh dengan cara mudah? Tentu saja tidak.

Tak jauh berbeda dengan keadaan pedagang lainnya, yang harus banyak berpergian mencari barang-barang bermutu untuk diperjual belikan kembali. Selain jeli, pedagang juga harus pandai membangun kerjasama dengan rekanan maupun karyawan.

3. Berani dan percaya diri
Sebagai istri, Khadijah memberikan dukungan penuh kepada Muhammad SAW untuk menempuh jalan kebenaran, sekalipun tak lazim. Pilihan suaminya untuk menyepi ke gua Hira misalnya, termasuk sangat aneh dan dinilai tak berguna.

Bagaimana mungkin seseorang meninggalkan kehidupan nyaman bersama anak istri dengan harta berlimpah, kemudian mengasingkan diri ke sebuah gua di puncak bukit di tengah padang pasir tak berpenghuni selama berhari-hari.

Tapi tanpa khawatir omongan orang, Khadijah dengan setia mengurusi kebutuhan suaminya saat berkhalwat di gua Hira. Jika perbekalan habis, Khadijah akan mengantarkan tambahannya, dan ia harus mendaki tebing terjal yang kemiringannya nyaris 45 derajat. Terkadang ia juga menyertai suaminya dengan mendirikan tenda tak jauh dari bukit dan tinggal di sana.

Hal itu Khadijah lakukan semua hanya dengan satu tujuan; mencari kebenaran yang secara rasio akal mustahil datang ke tengah-tengah bangsa mereka yang jahiliyah itu. Sebuah tujuan yang tak bisa dipahami orang lain, namun Khadijah berani menentangnya!

4. Pengayom
Usia dan pengalaman hidup Khadijah turut berperan menumbuhkan karakter pengayom dalam dirinya. Ketika menikah dengan Muhammad SAW, ia berusia 15 tahun lebih tua, dan telah menikah dua kali serta memiliki anak. Secara psikologis, kepribadiannya yang keibuan dan pengayom itu memberikan kasih sayang figur seorang ibu yang tidak diperoleh sempurna oleh Muhammad SAW selama hidupnya.

Secara fisik dan psikologis, Khadijah memang memiliki banyak kelebihan dibanding suaminya yang masih 'hijau' dalam kehidupan berumah tangga. Ini membuatnya memiliki kedudukan yang cukup dominan dalam rumah tangga, bahkan mampu mengambil peran sebagai pelindung suaminya. Kondisi ini tecermin saat Muhammad mengalami keguncangan karena datangnya wahyu, ia tidak terpengaruh, namun justru mengambil posisi sebagai penyelamat keadaan.

Hebatnya, dominasi kepemimpinan yang ia miliki terhadap suaminya itu tetap ia batasi, sehingga tidak sampai merebut kepemimpinan rumah tangga dari tangan suaminya. Sebagai istri shalihah, Khadijah mengambil posisi sebagai bawahan yang taat pada keputusan-keputusan suaminya dalam urusan rumah tangga mereka.

Kepribadian Khadijah ini cukup mewakili karakter kaum muslimah secara umum yang aktif dan dinamis, serta memiliki kecenderungan untuk lebih dominan terhadap suaminya. Ternyata Allah memberikan pengakuan dan pembenaran terhadap kebaradan karakter jenis ini, sepanjang tetap berada dalam batas-batas etika Islami.

Bukankah ada muslimah yang aktif bekerja maupun bermasyarakat, ada pula yang memiliki kecenderungan lebih dominan dibanding laki-laki, bahkan mendapat legitimasi dari masyarakat mengenai peran yang ia lakukan sehingga membuat ia mendapat kedudukan terhormat di tengah mereka?

Maka ini adalah salah satu jenis karakter kepribadian yang boleh jadi akan mengantar pemiliknya menuju surga, selama hal itu diarahkan di jalan Allah SWT. Wallahua'lam
 
* Sumber : http://www.islamedia.web.id/ 

Dakwah dan Rumah

Seorang sahabat menulis pertanyaan seperti ini kepada saya: “Kegiatan-kegiatan yang saya lakukan semuanya atas nama dakwah. Namun sering kali melalaikan tugas sebagai kepala keluarga. Mohon masukannya”.
Sangat menarik pertanyaannya. Kalau istilah pak Mario Teguh, “super sekali”. Pertanyaan yang sebenarnya mewakili banyak kalangan aktivis dakwah. Ada kondisi paradoks, satu sisi “merasa” sibuk dengan berbagai kegiatan dakwah, namun di saat yang sama melalaikan peran sebagai kepala rumah tangga.

Syumuliyah Dakwah
Pertama kali yang harus dipahami adalah makna dakwah dan syumuliyah dakwah. Sebagaimana kita ketahui, dakwah adalah usaha mengajak manusia menuju nilai-nilai kebaikan sesuai tuntunan Ketuhanan dan petunjuk Kenabian. Maka aktivitas dakwah mencakup aspek yang sangat sangat sangat luas. Usaha membahasabumikan nilai-nilai langit, bisa kita wujudkan dalam beragam aktivitas.
Selama ini sebagian masyarakat memahami dakwah dalam konteks yang sempit, misalnya ceramah, khutbah, tabligh akbar, pengajian dan lain sebagainya. Seakan dakwah itu maknanya hanyalah forum atau mimbar untuk berbicara. Padahal dakwah itu adalah hal bagaimana nilai-nilai kebaikan bisa direalisasikan dalam kehidupan keseharian. Bukan soal ceramah atau khutbah, namun soal merealisasikan kebajikan dalam kehidupan nyata.
Oleh karenanya dakwah bersifat syamil, utuh menyeluruh. Syumuliyah dakwah, adalah pandangan tentang keutuhan dakwah, tanpa membuat dikotomi yang tidak perlu antara peran “publik” dan “domestik”. Antara peran di dalam dan di luar rumah. Antara peran sebagai kepala rumah tangga dengan kepala desa. Antara peran sebagai orang tua dengan peran sebagai pejabat pemerintahan, dan lain sebagainya.

Mengurus Rumah Tangga Adalah Dakwah
Dalam konteks syumuliyah dakwah, kita memahami dakwah itu ada yang di dalam rumah, ada pula yang di luar rumah. Dakwah di dalam rumah adalah membina keluarga, mendidik anak, menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Jika keluarga harmonis, anak-anak tumbuh menjadi generasi yang shalih dan shalihah, seluruh anggota keluarga mentaati aturan Allah dan Rasul, maka itulah keberhasilan dakwah di dalam rumah.
Sedangkan dakwah di luar rumah bisa berupa berbagai aktivitas kemasyarakatan, sosial, politik, seni, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya, yang mengajak masyarakat menuju keluhuran diri, ketinggian pekerti, dan kekuatan nurani. Perbaikan individu, keluarga, masyarakat dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara, menjadi fokus dari aktivitas dakwah kita di luar rumah.
Keduanya, dakwah di dalam rumah dan di luar rumah, harus sukses dan berhasil. Jangan hanya berorientasi keberhasilan di salah satu sisi, namun keduanya harus diperjuangkan untuk mendapatkan keberhasilan.
Maka tidak ada dikotomi, “saya berdakwah di luar rumah, dan di dalam rumah itu bukan dakwah”. Itu adalah pemahaman yang keliru dalam konteks syumuliyah dakwah. Justru dakwah itu mencakup peran yang harus kita jalankan di dalam rumah, dan peran yang harus kita lakukan di luar rumah. Keduanya adalah aktivitas dakwah.
Semoga kita semua mampu untuk mencapai kesuksesan dakwah di dalam dan di luar rumah.

Dunia Islam

Jum'at sehat

Sabtu Tadarus Quran

Keteladanan

Remaja

 
© Copyright Masjid Al-Ikhlash Kuden 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com | Redesign by Masjid Al-Ikhlash Kuden