News Update :
Topics :

Aqidah Islamiyah

Oase Iman

Khutbah

Tazkiyatunnafsi

Shirah

Gallery Kegiatan


Khadijah, Wanita Tangguh Pendamping Rasulullah SAW

30/01/13

Wanita penghuni surga yang paling mulia ada empat, yaitu Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah istri Fir'aun,” kata Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.

Tentang keutamaan Khadijah, memang tak perlu diragukan lagi. Ia adalah orang pertama yang mendukung penuh tentang kenabian Muhammad SAW. Ia juga relakan seluruh hartanya yang berlimpah demi kemajuan Islam.

Bahkan, ia juga baktikan seluruh jiwa dan raganya, hingga Allah SWT menakdirkan ia meninggal di tengah-tengah masa perjuangan tanpa sempat menikmati sinar-sinar kejayaan Islam.

Dari sela-sela kisah hidupnya yang sangat mulia itu, kita menemukan satu karakter kepribadian khas yang umum dimiliki oleh kaum wanita utama lain.

1. Tokoh masyarakat
Ia disunting pertama kalinya oleh Atiq bin Abid. Begitu sang suami meninggal ia menikah dengan Abu Halah, tetapi harus menjanda kedua kali karena suaminya ini juga meninggal. Setelah itu banyak tokoh quraisy yang datang untuk melamar, namun semua itu ditolaknya secara halus.

Kedudukannya di tengah masyarakat quraisy sangat terhormat. Bukan karena keturunan dan harta, melainkan karena kepribadian dan budi pekertinya yang luhur. Ia bahkan dijuluki “At Thahirah”, yang berarti Si Wanita Suci.

2. Aktif bekerja
Masyarakat mengenal Khadijah sebagai pedagang yang sukses. Selain memiliki banyak budak laki-laki dan perempuan, Khadijah juga menyewa banyak orang untuk menjualkan barang-barangnya ke luar negeri. Apakah kesuksesan itu ia peroleh dengan cara mudah? Tentu saja tidak.

Tak jauh berbeda dengan keadaan pedagang lainnya, yang harus banyak berpergian mencari barang-barang bermutu untuk diperjual belikan kembali. Selain jeli, pedagang juga harus pandai membangun kerjasama dengan rekanan maupun karyawan.

3. Berani dan percaya diri
Sebagai istri, Khadijah memberikan dukungan penuh kepada Muhammad SAW untuk menempuh jalan kebenaran, sekalipun tak lazim. Pilihan suaminya untuk menyepi ke gua Hira misalnya, termasuk sangat aneh dan dinilai tak berguna.

Bagaimana mungkin seseorang meninggalkan kehidupan nyaman bersama anak istri dengan harta berlimpah, kemudian mengasingkan diri ke sebuah gua di puncak bukit di tengah padang pasir tak berpenghuni selama berhari-hari.

Tapi tanpa khawatir omongan orang, Khadijah dengan setia mengurusi kebutuhan suaminya saat berkhalwat di gua Hira. Jika perbekalan habis, Khadijah akan mengantarkan tambahannya, dan ia harus mendaki tebing terjal yang kemiringannya nyaris 45 derajat. Terkadang ia juga menyertai suaminya dengan mendirikan tenda tak jauh dari bukit dan tinggal di sana.

Hal itu Khadijah lakukan semua hanya dengan satu tujuan; mencari kebenaran yang secara rasio akal mustahil datang ke tengah-tengah bangsa mereka yang jahiliyah itu. Sebuah tujuan yang tak bisa dipahami orang lain, namun Khadijah berani menentangnya!

4. Pengayom
Usia dan pengalaman hidup Khadijah turut berperan menumbuhkan karakter pengayom dalam dirinya. Ketika menikah dengan Muhammad SAW, ia berusia 15 tahun lebih tua, dan telah menikah dua kali serta memiliki anak. Secara psikologis, kepribadiannya yang keibuan dan pengayom itu memberikan kasih sayang figur seorang ibu yang tidak diperoleh sempurna oleh Muhammad SAW selama hidupnya.

Secara fisik dan psikologis, Khadijah memang memiliki banyak kelebihan dibanding suaminya yang masih 'hijau' dalam kehidupan berumah tangga. Ini membuatnya memiliki kedudukan yang cukup dominan dalam rumah tangga, bahkan mampu mengambil peran sebagai pelindung suaminya. Kondisi ini tecermin saat Muhammad mengalami keguncangan karena datangnya wahyu, ia tidak terpengaruh, namun justru mengambil posisi sebagai penyelamat keadaan.

Hebatnya, dominasi kepemimpinan yang ia miliki terhadap suaminya itu tetap ia batasi, sehingga tidak sampai merebut kepemimpinan rumah tangga dari tangan suaminya. Sebagai istri shalihah, Khadijah mengambil posisi sebagai bawahan yang taat pada keputusan-keputusan suaminya dalam urusan rumah tangga mereka.

Kepribadian Khadijah ini cukup mewakili karakter kaum muslimah secara umum yang aktif dan dinamis, serta memiliki kecenderungan untuk lebih dominan terhadap suaminya. Ternyata Allah memberikan pengakuan dan pembenaran terhadap kebaradan karakter jenis ini, sepanjang tetap berada dalam batas-batas etika Islami.

Bukankah ada muslimah yang aktif bekerja maupun bermasyarakat, ada pula yang memiliki kecenderungan lebih dominan dibanding laki-laki, bahkan mendapat legitimasi dari masyarakat mengenai peran yang ia lakukan sehingga membuat ia mendapat kedudukan terhormat di tengah mereka?

Maka ini adalah salah satu jenis karakter kepribadian yang boleh jadi akan mengantar pemiliknya menuju surga, selama hal itu diarahkan di jalan Allah SWT. Wallahua'lam
 
* Sumber : http://www.islamedia.web.id/ 

Dakwah dan Rumah

Seorang sahabat menulis pertanyaan seperti ini kepada saya: “Kegiatan-kegiatan yang saya lakukan semuanya atas nama dakwah. Namun sering kali melalaikan tugas sebagai kepala keluarga. Mohon masukannya”.
Sangat menarik pertanyaannya. Kalau istilah pak Mario Teguh, “super sekali”. Pertanyaan yang sebenarnya mewakili banyak kalangan aktivis dakwah. Ada kondisi paradoks, satu sisi “merasa” sibuk dengan berbagai kegiatan dakwah, namun di saat yang sama melalaikan peran sebagai kepala rumah tangga.

Syumuliyah Dakwah
Pertama kali yang harus dipahami adalah makna dakwah dan syumuliyah dakwah. Sebagaimana kita ketahui, dakwah adalah usaha mengajak manusia menuju nilai-nilai kebaikan sesuai tuntunan Ketuhanan dan petunjuk Kenabian. Maka aktivitas dakwah mencakup aspek yang sangat sangat sangat luas. Usaha membahasabumikan nilai-nilai langit, bisa kita wujudkan dalam beragam aktivitas.
Selama ini sebagian masyarakat memahami dakwah dalam konteks yang sempit, misalnya ceramah, khutbah, tabligh akbar, pengajian dan lain sebagainya. Seakan dakwah itu maknanya hanyalah forum atau mimbar untuk berbicara. Padahal dakwah itu adalah hal bagaimana nilai-nilai kebaikan bisa direalisasikan dalam kehidupan keseharian. Bukan soal ceramah atau khutbah, namun soal merealisasikan kebajikan dalam kehidupan nyata.
Oleh karenanya dakwah bersifat syamil, utuh menyeluruh. Syumuliyah dakwah, adalah pandangan tentang keutuhan dakwah, tanpa membuat dikotomi yang tidak perlu antara peran “publik” dan “domestik”. Antara peran di dalam dan di luar rumah. Antara peran sebagai kepala rumah tangga dengan kepala desa. Antara peran sebagai orang tua dengan peran sebagai pejabat pemerintahan, dan lain sebagainya.

Mengurus Rumah Tangga Adalah Dakwah
Dalam konteks syumuliyah dakwah, kita memahami dakwah itu ada yang di dalam rumah, ada pula yang di luar rumah. Dakwah di dalam rumah adalah membina keluarga, mendidik anak, menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Jika keluarga harmonis, anak-anak tumbuh menjadi generasi yang shalih dan shalihah, seluruh anggota keluarga mentaati aturan Allah dan Rasul, maka itulah keberhasilan dakwah di dalam rumah.
Sedangkan dakwah di luar rumah bisa berupa berbagai aktivitas kemasyarakatan, sosial, politik, seni, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya, yang mengajak masyarakat menuju keluhuran diri, ketinggian pekerti, dan kekuatan nurani. Perbaikan individu, keluarga, masyarakat dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara, menjadi fokus dari aktivitas dakwah kita di luar rumah.
Keduanya, dakwah di dalam rumah dan di luar rumah, harus sukses dan berhasil. Jangan hanya berorientasi keberhasilan di salah satu sisi, namun keduanya harus diperjuangkan untuk mendapatkan keberhasilan.
Maka tidak ada dikotomi, “saya berdakwah di luar rumah, dan di dalam rumah itu bukan dakwah”. Itu adalah pemahaman yang keliru dalam konteks syumuliyah dakwah. Justru dakwah itu mencakup peran yang harus kita jalankan di dalam rumah, dan peran yang harus kita lakukan di luar rumah. Keduanya adalah aktivitas dakwah.
Semoga kita semua mampu untuk mencapai kesuksesan dakwah di dalam dan di luar rumah.

Muhammadiyah Puasa Besok Tidak Mengikuti Putusan Sidang Isbat

23/07/12

Yogyakarta - Penentuan awal Ramadhan oleh Muhammadiyah sudah sejak diputuskan pada saat Tanwir Muhammadiyah di Bandung akhir Juni lalu. Muhammadiyah menetapkan bahwa 1 Ramadhan 1433 H jatuh pada tanggal 20 Juli 2012. 1 Syawal 1433 H jatuh pada tanggal 19 Agustus, dan 10 Dzulhijjah 1433 H jatuh pada tanggal 26 Oktober 2012. Kemungkinan perbedaan awal ramadhan dengan pemerintah sangat terlihat jelas, ketika pemerintah menggunakan metode Rukyatul Hilal, dan tidak mungkin terlihat, karena posisi Indonesia di beberapa tempat tidak akan terlihat. Muhammadiyah sudah menetapkan lebih dahulu dalam penentuan awal Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah dengan metode hisab wujudul hilal. Hal itu disampaikan Drs. H. Oman Fathurohman S.W., M.Ag., Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah melalui telpon kepada redaksi.
Menurut Oman Fathurohman, Ijtimak jelang bulan Ramadan 1433 H terjadi pada hari Kamis Wage tanggal 19 Juli 2012  pukul 11:25:24 WIB. Ijtimak ini terjadi  pada momen yang sama untuk seluruh muka Bumi, hanya saja jamnya tergantung pada jam di tempat bersangkutan. Kalau ijtimak terjadi pada pukul 11:25:24 WIB berarti sama dengan pukul 07:25:24 WAS (Waktu Arab Saudi) karena selisih waktu WIB dengan Arab Saudi 4 jam. Dengan ijtimak ini berarti kriteria pertama sudah terpenuhi, tinggal menguji kriteria kedua dan ketiga. Kriteria kedua dengan mudah diketahui, karena kalau ijtimak terjadi pada pukul 11:25:24 WIB sudah dapat dipastikan terjadi sebelum terbenam Matahari pada hari dan tanggal tersebut. Terbenam Matahari di Yogyakarta pada hari itu pukul 17:39 WIB. Kriteria ketiga juga sudah terpenuhi karena berdasarkan perhitungan tersebut, pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta tanggal 19 Juli 2012 itu Bulan masih di atas ufuk setinggi 01 ͦ 38’ 40”, artinya pada saat Matahari terbenam Bulan belum terbenam, jadi hilal sudah wujud. Dengan demikianNegara-negara yang akan keseluruhan kriteria yang diperlukan sudah terpenuhi, dan karena ketiga kriteria tersebut sudah terpenuhi, maka ditetapkanlah tanggal 1 Ramadan 1433 H  dimulai pada saat terbenam Matahari tanggal 19 Juli 2012 dan konversinya dengan kalender Masehi ditetapkan pada keesokan harinya yaitu tanggal 20 Juli 2012. Itulah sebabnya maka dikatakan tanggal 1 Ramadan 1433 H jatuh pada hari Jum’at Kliwon 20 Juli 2012.
Terkait dengan posisi Muhammadiyah dalam sidang Isbat yang akan dilakukan pemerintah yang kali ini diwakili oleh Kementrian Agama RI, Oman Fathurohman mengatakan sidang Isbat sendiri hanya mengakomodir suara-suara hasil rukyat. Apabila ada saksi yang melihat bulan baru di atas  2  ͦ  tidak akan diakomodir oleh pemerintah, namun pemerintah lebih mengakui saksi yang tidak melihat bulan. Muhammadiyah dengan metode hisabnya justru tidak akan diakomodir. Namun Oman mengaharapkan pemerintah memberikan keputusan tersendiri terhadap umat Islam untuk meyakini tentang awal Ramadhan.
Selanjutnya terkait dengan pernyataan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta di tvOne pagi tadi, yang menyarankan agar Pemerintah RI memiliki undang-undang hari raya, seperti di Malaysia ketika ada kelompok yang tidak mengikuti Pemerintah, Sultan di Kerajaan Malaysia berhak memerintahkan polisi untuk menangkap kelompok atau golongan tersebut. “Pemerintah tidak berhak melakukan tindakan seperti itu, pertama karena Negara Indonesia bukan Negara Agama, kemudian pembuatan Undang-undang perlu pembahasan di parlementer, selanjutnya, seandainya Pemerintah sudah menetapkan undang-undang hari raya tersebut, berarti pemerintah telah melanggar HAM dan UUD 45 pasal 29,” jawab tegas Oman Fathurohman. (dzar)

*) Sumber  : http://www.muhammadiyah.or.id/

Maklumat 1 Ramadhan, Syawwal, Dzulhijjah 1433H


Sambut Ramadhan, Muhammadiyah DIY Kerahkan Ratusan Mubaligh

Yogyakarta- Dalam rangka syiar dan menyemarakkan aktivitas jama’ah di bulan Ramadhan pada tahun 1443 Hijriyah kali ini, Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (PWM-DIY) telah siap menerjunkan 346 muballigh/muballighat ke daerah-daerah di wilayah Jateng dan DIY.
 
Kegiatan dengan nama Muballigh Hijrah ini merupakan perwujudan dakwah Islam yang diselenggarakan oleh persyarikatan Muhammadiyah pada setiap bulan Ramadhan. Dan diantara cara mewujudkannya adalah dengan mengirimkan da’i atau muballigh/muballighat muda ke daerah-daerah yang
sangat membutuhkan bimbingan dan pembinaan keislaman.
 
Hal ini seperti yang  disampaikan pula oleh ustad Hamdan Hambali selaku ketua koordinator Majelis Tabligh dan Tarjih PWM DIY, bahwa para muballigh dan muballighat adalah ujung tombak dari keberhasilan dakwah persyarikatan Muhammadiyah. “Kegiatan dakwah atau Muballigh Hijrah ini, meski secara resmi diadakan pada setiap bulan Ramadhan di berbagai daerah, namun sebenarnya kegiatan dakwah ini tetap berlaku sepanjang masa,” tambah Hamdan dalam acara pembukaan pembekalan peserta Muballigh Hijrah tahun 1433 Hijriyah, Senin (16/7).
 
Pelaksanaan pembekalan Muballigh Hijrah ini, diselenggarakan di gedung AR. Fakhruddin B lantai 5 dan Unires Putri Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY) akan berlangsung hingga Rabu (18/7). Sedangkan pada Kamis (19/7) 436 peserta Muballigh Hijrah akan segera disebar ke berbagai daerah di Jateng dan DIY. Pembukaan pembekalan Muballigh Hijrah ini juga dihadiri oleh penanggung jawab kegiatan Muballigh Hijrah tahun 1433 Hijriyah, Drs. H.M. Sabbikhis, M.A. yang juga merupakan ketua Majelis Tabligh PWM DIY, Ketua PWM DIY yang diwakili oleh ustad Hamdan Hambali, Pimpinan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FAI-UMY yang diwakili oleh Ghofar Ismail, S.Ag., M.A. serta para pengurus
Majelis Tabligh PWM DIY lainnya.
 
Pada waktu yang sama Sabbikhis juga menyampaikan bahwa pihaknya sangat bahagia dengan adanya banyak kader muballigh dan muballighat pada
Ramadhan tahun ini. “Rasa bahagia selaku Majelis Tabligh PWM DIY bahwa kami mempunyai banyak kader muballigh untuk diterjunkan ke masyarakat
pada bulan Ramadhan nanti selama 25 hari. Karena dengan begitu misi Islam akan terus tersebar pada masyarakat,” tuturnya.
 
Adapun peserta Muballigh Hijrah ini terdiri dari 160 mahasiswa UMY,  44 alumni PendidikanMujahid Dakwah Muhammadiyah, 31 orang dari Korps Muballigh  IkatanMahasiswa Muhammadiyah (IMM) AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta, 38 mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM), dan 73 mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD). 

*) Sumber : http://www.muhammadiyah.or.id/

Puasa, Penghapus Dosa Kita

21/07/12

Marhaban ya syahra ramadlan Marhaban ya syahra’ as-shiyami.
Marhaban ya syahra ramadlan Marhaban ya syahra’ al-qiyami.

Allah dan Rasul-Nya memberikan targhib (spirit) tentang fadhilah shoum di bulan Ramadhan. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
“Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan berhadap ganjaran dari Allah SWT maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun alaih)
Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim ini, ada dua syarat agar diampuni semua dosa yang telah lalu bagi orang yang menunaikan shoum Ramadhan, yaitu iman dan ihtisab.
Makna iman dan Ihtisab yakni membenarkan wajibnya puasa, mengharap pahalanya, hatinya senang dalam mengamalkan, tidak membencinya, tidak merasa berat dalam mengamalkannya.
Lalu apa makna dan urgensi dua kata itu sehingga sampai menjadi syarat diampuninya dosa-dosa yang telah lalu?
Iman dan Ihtisab
Iman (bahasa) artinya percaya. Menurut Dr. Yusuf Al Qardhawy, iman artinya keyakinan/kepercayaan yang meresap ke dalam hati dan memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.
Karena iman (percaya/keyakinan) yang kuat ini akan menjadi (spirit) penyemangat akan selalu menggelora sehingga menimbulkan energi besar yang mendorong untuk mengerjakan suatu perbuatan.
Bagi seseorang yang beriman (percaya) bahwa jika dia mendapatkan peluang, tentu dia akan mendapat keuntungan yang besar, maka kepercayaan (keimanan) ini akan menghasilkan buah hamasah (semangat) untuk berbuat, memanfaatkan peluang tersebut.
Dia akan menikmati proses tersebut, meski harus merasakan situasi dan kondisi yang sesulit apapun.
Karena dengan iman itulan dia sadar tentang arti pengorbanan “laa  izzata (imana) illa bittadhhiyah”.
“Takkan Surut walau selangkah, takkan henti walau sejenak”, Apapun rintangan yang menghadangnya tidak dijadikan sebagai beban namun sebagai perjalanan mulia yang berakhir syurga. Inilah rahasia dari iman (percaya) terhadap asa yang akan ia raih di masa mendatang, buah dari pengorbanannya.
Sedangkan ihtisab dapat diartikan dengan penuh perhitungan dalam setiap perbuatannya.
Jika kita renungkan lebih dalam, ternyata iman dan ihtisab, tidak saja urgen untuk syarat terampuninya dosa-dosa namun juga penting bagi syarat tercapainya misi suatu perbuatan/pekerjaan.
Ihtisab juga berarti  koreksi dan penilaian. Dengan kata lain, makna dari ihtisab adalah suatu koreksi diri dan penilaian sendiri pada amal kita selama Ramadhan, apakah amalan itu akan mendapatkan ridho dari Allah swt. Sehingga ihtisab akan membawa pada asa/pengharapan terhadap ridho Allah swt.
Pada bulan Ramadhan, sebaiknya kita lebih banyak introspeksi diri, baik dari amal perbuatan kita, maupun dari ibadah-ibadah yang kita lakukan. Bulan ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk evaluasi diri.
Jadi, shoum kita di bulan Ramadhan ini  jika didasari dengan iman yang benar sehingga sampai menimbulkan sikap ihtisab, niscaya akan membuat puasa kita menjadi puasa yang berkualitas, yang akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, amiin. Wallohu a’lam bishowab.
*) Dhanie 
        dari berbagai sumber

Jadilah Generasi Rabbani, Bukan Generasi Ramadhani

20/07/12

Menjadi baik serta beriman di bulan Ramadhan tampaknya tidak asing lagi kita temukan. Perubahan yang signifikan bisa saja terjadi pada seorang muslim ketika bulan Ramadhan tiba. Ada yang salah? Wah, tentu saja tidak. Itu adalah satu kesyukuran bagi kita. Namun tampaknya ada hal lain yang perlu kita perhatikan selain ketakwaan di bulan Ramadhan. Itu tentang kita di luar Ramadhan.

Jadilah generasi Rabbani, bukan Ramadhani.
Generasi Rabbani tak kenal henti. Ia terus bergerak dalam upaya mendekatkan diri kepada Rabb nya. Hingga tak jarang ia harus mengesampingkan keinginan hawa nafsunya untuk sesuatu yang lebih besar di sana. Ia beribadah tak mengenal waktu dan tempat. Bibir mereka selalu basah dengan dzikir dan perkataan mereka tidak ada yang sia- sia. Hadirnya selalu dirindu bak oase di padang pasir.
Keimanan bukan musiman. Ia harus selalu hadir dalam setiap waktu,  bersama siapa pun, dan dalam kondisi bagaimana pun. Ramadhan hendaknya menjadi ajang latihan bagi kita untuk menghadirkan diri kita kembali sesuai fitrahnya. Ramadhan adalah saat yang tepat untuk mencharge kembali ruhiyah kita agar mampu bertahan hingga 11 bulan ke depan.

Keberhasilan Ramadhan terlihat dari kondisi kita di 11 bulan lainnya. Ini adalah indikator bahwa kita memang dianjurkan untuk menjadi sosok Rabbani, bukan Ramadhani. Ibadah harus terus memuncak setiap waktu, hati harus terus merendah dalam perjalanan hidup, dan pikiran harus tetap terjaga dalam setiap langkah. Itulah suksesnya Ramadhan yang sesungguhnya.

Ramadhan secara tidak langsung akan membentuk pribadi yang demikian ketika kita benar- benar memandang moment ini sebagai moment perbaikan. Tidak ada satu kegiatan pun yang tak bernilai pahala di bulan ini, bahkan tidur seorang muslim yang berpuasa juga adalah ibadah. Luar biasa.

Generasi Rabbani adalah harapan kita bersama. Mewujudkannya tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Oleh karena itu, mari manfaatkan Ramadhan sebaik mungkin. Tekadkan dalam hati bahwa kita adalah muslim yang beriman namun bukan musiman. Jadilah generasi Rabbani.
 

Marhaban Yaa Ramadhan

Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah: 183)
Marhaban… Marhaban… Marhaban Ya Ramadhan…! Kalimat inilah yang akan terucap pada lisan sebagian muslimin serta mukminin di seluruh dunia, karena seiring berjalannya waktu, detik demi detik, hari demi hari, bulan demi bulan hingga tak terasa bulan yang ditunggu-tunggu, bulan yang penuh magfirah (ampunan) bulan yang sangat dirindukan oleh seluruh umat muslim di seluruh dunia yaitu “Bulan Suci Ramadhan” yang tak lama lagi akan tiba.
Oleh karena itu al-khatib mencoba menguraikan tentang bulan suci Ramadhan. sebenarnya hal-hal seperti ini sudah sangat ma’ruf di kalangan kita, namun apa salahnya jikalau kembali diasah melalui dalil-dalil naqli, agar menjelang masuknya bulan suci Ramadhan hati, mental, planning semuanya serba siap memasuki bulan yang penuh Rahmah, Maghfirah, Berkah (Kasih Sayang, Ampunan) dan lain sebagainya… Marhaban Ya Ramadhan.
Sucikan hati, siapkan diri, serta ikhlaskan hati dalam menyambut bulan suci ini. Saya kembali mengingatkan bahwa dalam berpuasa itu dari segi bahasa berarti Al-Imsak ataupun dengan arti menahan, kata yang tergarisbawahi tersebut sangat bermakna dan bermulti arti. Di mana Puasa seseorang individu harus menahan dari makan dan minum, menahan marah, menahan diri untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh sang Khaliq selama di bulan suci Ramadhan bahkan di luar Ramadhan. Jikalau ada individual yang di luar bulan suci Ramadhan hari-harinya penuh dengan maksiat maka memasuki bulan suci berhijrah ke jalan Allah menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, dengan demikian kita akan menemukan ketenangan jiwa, raga, ketenteraman, karena tujuan hidup sudah terarah.
Saudara-saudaraku, walaupun kita belum berpuasa namun tulisan ini akan lebih dulu menjumpai orang-orang yang akan berpuasa agar menjadi ma’rifah bagi seluruh umat mukmin. Ketahuilah bahwa dalam berpuasa, hendaknya mensucikan hati dari segala aib, sucikan jiwa dari segala noda, dan bersihkan tubuh dari segala kotoran. Berlepas dirilah kepada Allah dari musuh-musuh-Nya, tuluskan hati dalam mencintai-Nya, berpuasalah dari segala larangan-Nya dalam kesunyian dan terang-terangan, takutlah kepada Allah dengan yang sebenarnya dalam kesunyian dan terang-terangan, serahkan diri kepada Allah pada hari-hari puasa, kosongkan hati untuk-Nya, dan bagilah dirimu untuk-Nya dalam menjalankan perintah-Nya dan berdoalah pada-Nya. Jika telah menjalankan semua itu, maka kita adalah orang yang berpuasa karena-Nya alias Ikhlas karena Allah SWT tak ada niat yang lain. Perlu saudara-saudaraku ketahui bahwa bulan suci Ramadhan merupakan bulan, Allah SWT melipat gandakan amal (Pahala) kebaikan se seorang.
Berbahagialah bagi kaum muslimin yang akan memasuki/menyambut bulan suci Ramadhan yang dikhususkan untuk umat habibullah Muhammad SAW. Sebab di bulan ini seorang individual mukmin mendapatkan waktu yang tepat khusyu’ beribadah Kepada-NYA dibarengi dengan puasa yang ikhlas seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW:
Dari Abu Hurairah berkata:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
“Barangsiapa yang puasa karena iman dan berharap pahala dan ridha Allah, maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”.
Pada bulan yang paling indah ini yang sangat besar ganjarannya di sisi Allah dan berlimpah; karena itulah hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu yang agung ini dan menerimanya dengan taubat yang nusuh (sebenarnya) dan niat yang benar untuk ketaatan, dan keinginan yang kuat, himmah aliyah (semangat yang bergelora) untuk melanjutkan ketaatan hingga akhir Ramadhan; sehingga menjadi orang yang ditulis oleh Allah terbebas dari api neraka, dan perbanyaklah di dalamnya amalan-amalan kebaikan.
My Brothers fil Islam… Bulan suci Ramadhan di mana orang-orang muslim menjalankan ibadah puasa yang mengandung beberapa makna, nilai sekaligus melatih individual muslim dalam beberapa hal di antaranya poin yang paling penting adalah:
Kesabaran: Puasa terdapat di dalamnya nilai kesabaran dan penuh jiwa pejuang adalah yang mampu mengemban rasa haus, lapar dan hawa nafsu, menerima dengan riang gembira akan rasa letih, sederhana dan kerasnya hidup, selama hal tersebut berada di jalan Allah.
Sehubungan dengan turunnya Rahmat Allah SWT di bulan suci Ramadhan hendaknya orang mukmin senantiasa memperbaiki silaturahim, sebarkan kasih sayang hindari sifat dengki dan penyakit-penyakit hati lain lainnya, dengan demikian rahmat Allah akan datang dengan mudah.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَ
مُونَ
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara, karena itu perbaikilah hubungan dua saudara di antara kalian dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian diberikan rahmat”. (QS. Al-Hujurat: 10)
Hikmah Menahan Lapar: Dalam menjalankan ibadah puasa tentunya rasa lapar haus dahaga sehingga dapat menimbulkan pemikiran bahwa dunia yang sangat lebar ini tentunya ada saudara-saudara kita yang merasakan hal ini di luar bulan suci Ramadhan sehingga seorang mukmin hatinya akan terketuk untuk bersikap dermawan.
Bulan Suci Ramadhan… rasanya rindu akan terobati dengan kehadiran bulan suci Ramadhan yang hanya hadir sekali dalam setahun oleh karena itu kembali al-khatib mengingatkan ”Manfaatkanlah momen Bulan Suci Ramadhan Untuk Beribadah dengan Khusyu” sebab Ramadhan yang akan datang berikutnya belum tentu jasad ini akan menikmatinya. Semua ketukan jari ini merupakan ketukan jari seorang manusia biasa bukan manusia maksum dengan ini saya katakan Wallahu a’lam Bishowab. Syukran…
 

Jadwal Imsakiyah Ramadhan 1433 h/2012

16/07/12

Jadwal imsakiyah Ramadhan 2012 / 1433 H 
sumber Departemen Agama DIY 
http://yogyakarta.kemenag.go.id/file/file/Religi/gavz1341560881.pdf

Dunia Islam

Jum'at sehat

Sabtu Tadarus Quran

Keteladanan

Remaja

 
© Copyright Masjid Al-Ikhlash Kuden 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com | Redesign by Masjid Al-Ikhlash Kuden